Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia
Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan
sekaligus sebagai raja pertama pada abad ke-13. Kerajaan Samudera Pasai
terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhok Semawe sekarang (pantai timur
Aceh).
Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah
di Samudra Pasai. Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai adalah seperti
berikut.
(1) Sultan Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar
kekuasaan Islam dan berusaha mengembangkan kerajaannya antara lain melalui
perdagangan dan memperkuat angkatan perang. Samudra Pasai berkembang menjadi
negara maritim yang kuat di Selat Malaka.
(2) Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang
memerintah sejak 1297-1326. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian
disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai.
(3) Sultan Malik al Tahir II (1326 – 1348 M). Raja yang
bernama asli Ahmad ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan
Islam ke negeri-negeri sekitarnya. Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai
pusat penyebaran Islam. Pada masa pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki
armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman singgah dan berdagang
di sekitar Samudra Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai
mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan
Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang
muncul kemudian.
Catatan lain mengenai kerajaan ini dapat diketahui dari
tulisan Ibnu Battuta, seorang pengelana dari Maroko. Menurut Battuta, pada
tahun 1345, Samudera Pasai merupakan kerajaan dagang yang makmur. Banyak
pedagang dari Jawa, Cina, dan India yang datang ke sana. Hal ini mengingat
letak Samudera Pasai yang strategis di Selat Malaka. Mata uangnya uang emas
yang disebur deureuham (dirham).
Di bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi
Islam. Kerajaan ini menyiarkan Islam sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka,
Jawa, bahkan ke Thailand. Dari Kerajaan Samudra Pasai inilah kader-kader Islam
dipersiapkan untuk mengembangkan Islam ke berbagai daerah. Salah satunya ialah
Fatahillah. Ia adalah putra Pasai yang kemudian menjadi panglima di Demak
kemudian menjadi penguasa di Banten.
Kerajaan Aceh
Kerajaan
Islam berikutnya di Sumatra ialah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang didirikan oleh
Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528), menjadi penting
karena mundurnya Kerajaan Samudera Pasai dan berkembangnya Kerajaan Malaka.
Para
pedagang kemudian lebih sering datang ke Aceh. Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh
ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang). Corak pemerintahan di Aceh terdiri atas
dua sistem: pemerintahan sipil di bawah kaum bangsawan, disebut golongan teuku;
dan pemerintahan atas dasar agama di bawah kaum ulama, disebut golongan tengku
atau teungku.
Sebagai sebuah kerajaan, Aceh
mengalami masa maju dan mundur. Aceh mengalami kemajuan pesat pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Pada masa pemerintahannya, Aceh
mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan dapat menguasai Johor, Pahang, Kedah,
Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri, Pulau Bintan, dan Nias. Di samping
itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-undang tata pemerintahan yang disebut
Adat Mahkota Alam.
Setelah
Sultan Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh. Aceh
mengalami kemunduran di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani (1636- 1641). Dia
kemudian digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri Alam Permaisuri (1641- 1675).
Sejarah mencatat Aceh makin hari makin lemah akibat pertikaian antara golongan
teuku dan teungku, serta antara golongan aliran syiah dan sunnah sal jama’ah.
Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun 1904.
Dalam bidang sosial, letaknya yang strategis di titik
sentral jalur perdagangan internasional di Selat Malaka menjadikan Aceh makin
ramai dikunjungi pedangang Islam.
Terjadilah
asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi. Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi perpaduan
antara adat istiadat dan ajaran agama Islam. Pada sekitar abad ke-16 dan 17 terdapat empat
orang ahli tasawuf di Aceh, yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumtrani,
Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf dari Singkil. Keempat ulama ini sangat
berpengaruh bukan hanya di Aceh tetapi juga sampai ke Jawa.
Dalam
kehidupan ekonomi, Aceh berkembang dengan pesat pada masa kejayaannya. Dengan
menguasai daerah pantai barat dan timur Sumatra, Aceh menjadi kerajaan yang
kaya akan sumber daya alam, seperti beras, emas, perak dan timah serta
rempah-rempah.
Kerajaan
Demak dan Kerajaan Pajang dengan Peninggalannya
Demak adalah kerajaan Islam pertama
di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Patah ini pada awalnya adalah
sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang berada di bawah kekuasaan
Majapahit. Majapahit mengalami kemunduran pada akhir abad ke-15. Kemunduran ini
memberi peluang bagi Demak untuk berkembang menjadi kota besar dan pusat perdagangan. Dengan
bantuan para ulama Walisongo, Demak berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur Nusantara.
Sebagai
kerajaan, Demak diperintah silih berganti oleh raja-raja. Demak didirikan oleh
Raden Patah (1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden Patah
sebenarnya adalah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit. Pada masa
pemerintahannya, Demak berkembang pesat. Daerah kekuasaannya meliputi daerah
Demak sendiri, Semarang, Tegal, Jepara dan sekitarnya, dan cukup berpengaruh di
Palembang dan Jambi di Sumatera, serta beberapa wilayah di Kalimantan. Karena
memiliki bandar-bandar penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik, Raden
Patah memperkuat armada lautnya sehingga Demak berkembang menjadi negara maritim yang kuat. Dengan kekuatannya
itu, Demak mencoba menyerang Portugis yang pada saat itu menguasai Malaka.
Demak membantu Malaka karena kepentingan Demak turut terganggu dengan hadirnya
Portugis di Malaka. Namun, serangan itu gagal.
Raden
Patah kemudian digantikan oleh Adipati Unus (1518-1521). Walau ia tidak
memerintah lama, tetapi namanya cukup terkenal sebagai panglima perang yang
berani. Ia berusaha membendung pengaruh Portugis jangan sampai meluas ke Jawa.
Karena mati muda, Adipati Unus kemudian digantikan oleh adiknya, Sultan
Trenggono (1521-1546). Di bawah pemerintahannya, Demak mengalami masa kejayaan.
Trenggono berhasil membawa Demak memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun
1522, pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah menyerang Banten, Sunda
Kelapa, dan Cirebon. Baru pada tahun 1527, Sunda Kelapa berhasil direbut. Dalam
penyerangan ke Pasuruan pada tahun 1546, Sultan Trenggono gugur.
Sepeninggal Sultan
Trenggono, Demak mengalami kemunduran. Terjadi perebutan kekuasaan antara
Pangeran Sekar Sedolepen, saudara Sultan Trenggono yang seharusnya menjadi raja
dan Sunan Prawoto, putra sulung Sultan Trenggono. Sunan Prawoto kemudian
dikalahkan oleh Arya Penangsang, anak Pengeran Sekar Sedolepen.
Namun,
Arya Penangsang pun kemudian dibunuh oleh Joko Tingkir, menantu Sultan
Trenggono yang menjadi Adipati di Pajang. Joko Tingkir (1549-1587) yang
kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang.
Kerajaannya kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Pajang.
Sultan Hadiwijaya
kemudian membalas jasa para pembantunya yang telah berjasa dalam pertempuran
melawan Arya Penangsang. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan menerima hadiah
berupa tanah di daerah Mataram (Alas Mentaok), Ki Penjawi dihadiahi wilayah di
daerah Pati, dan keduanya sekaligus diangkat sebagai bupati di daerahnya
masing-masing. Bupati Surabaya yang banyak berjasa menundukkan daerah-daerah di
Jawa Timur diangkat sebagai wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik,
Surabaya, dan Panarukan.
Ketika
Sultan Hadiwijaya meninggal, beliau digantikan oleh putranya Sultan Benowo.
Pada masa pemerintahannya, Arya Pangiri, anak dari Sultan Prawoto melakukan
pemberontakan. Namun, pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Pangeran
Benowo dengan bantuan Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya. Tahta Kerajaan
Pajang kemudian diserahkan Pangeran Benowo kepada Sutawijaya. Sutawijaya
kemudian memindahkan pusat Kerajaan Pajang ke Mataram.
Di
bidang keagamaan, Raden Patah dan dibantu para wali, Demak tampil sebagai pusat
penyebaran Islam. Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang megah,
yaitu Masjid Demak.
Dalam bidang perekonomian, Demak
merupakan pelabuhan transito (penghubung) yang penting. Sebagai pusat
perdagangan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Jepara, Tuban,
Sedayu, Gresik. Bandar-bandar
tersebut menjadi penghubung daerah penghasil rempah-rempah dan pembelinya.
Demak juga memiliki penghasilan besar dari hasil pertaniannya yang cukup besar.
Akibatnya, perekonomian Demak berkembang degan pesat.
Kerajaan Banten
Kerajaan
yang terletak di barat Pulau Jawa ini pada awalnya merupakan bagian dari
Kerajaan Demak. Banten direbut oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah.
Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah
salah seorang wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan Demak untuk memerintah
di Cirebon. Syarif Hidayatullah memiliki 2 putra laki-laki, pangeran Pasarean
dan Pangeran Sabakingkin. Pangeran Pasareaan berkuasa di Cirebon. Pada tahun
1522, Pangeran Saba Kingkin yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hasanuddin
diangkat menjadi Raja Banten.
Setelah Kerajaan Demak mengalami
kemunduran, Banten kemudian melepaskan diri dari Demak. Berdirilah Kerajaan
Banten dengan rajanya Sultan Hasanudin (1522- 1570). Pada masa pemerintahannya,
pengaruh Banten sampai ke Lampung. Artinya, Bantenlah yang menguasai jalur
perdagangan di Selat Sunda. Para pedagang dari Cina, Persia, Gujarat, Turki
banyak yang mendatangi bandar-bandar di Banten. Kerajaan Banten berkembang
menjadi pusat perdagangan selain karena letaknya sangat strategis, Banten juga
didukung oleh beberapa faktor di antaranya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis
(1511) sehingga para pedagang muslim berpindah
jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Faktor lainnya, Banten merupakan
penghasil lada dan beras, komoditi yang laku di pasaran dunia.
Sultan
Hasanudin kemudian digantikan putranya, Pangeran Yusuf (1570-1580). Pada masa
pemerintahannya, Banten berhasil merebut Pajajaran dan Pakuan. Pangeran Yusuf
kemudian digantikan oleh Maulana Muhammad. Raja yang bergelar Kanjeng Ratu
Banten ini baru berusia sembilan tahun ketika diangkat menjadi raja. Oleh sebab
itu, dalam menjalankan roda pemerintahan, Maulana Muhammad dibantu oleh
Mangkubumi. Dalam tahun 1595, dia memimpin ekspedisi menyerang Palembang. Dalam
pertempuran itu, Maulana Muhammad gugur.
Maulana Muhammad
kemudian digantikan oleh putranya Abu’lmufakhir yang baru berusia lima bulan.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Abu’lmufakhir dibantu oleh Jayanegara.
Abu’lmufakhir kemudian digantikan oleh Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah. Abu’ma’ali
Ahmad Rahmatullah kemudian digantikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692).
Sultan
Ageng Tirtayasa menjadikan Banten sebagai sebuah kerajaan yang maju dengan
pesat. Untuk membantunya, Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1671 mengangkat
purtanya, Sultan Abdulkahar, sebagi raja pembantu. Namun, sultan yang bergelar
Sultan Haji berhubungan dengan Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak
menyukai hal itu berusaha mengambil alih kontrol pemerintahan, tetapi tidak
berhasil karena Sultan Haji didukung Belanda. Akhirnya, pecahlah perang
saudara. Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan. Dengan demikian,
lambat laun Banten mengalami kemunduran karena tersisih oleh Batavia yang
berada di bawah kekuasaan Belanda.
Kerajaan Mataram dan Peninggalannya
Sutawijaya
yang mendapat limpahan Kerajaan Pajang dari Sutan Benowo kemudian memindahkan
pusat pemerintahan ke daerah kekuasaan ayahnya, Ki Ageng Pemanahan, di Mataram.
Sutawijaya kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram dengan gelar Panembahan
Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.
Pemerintahan
Panembahan Senopati (1586-1601) tidak berjalan dengan mulus karena diwarnai
oleh pemberontakan-pemberontakan. Kerajaan yang berpusat di Kotagede (sebelah
tenggara kota Yogyakarta sekarang) ini selalu terjadi perang untuk menundukkan
para bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, seperti Bupati
Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan bahkan Demak. Namun, semua daerah itu dapat
ditundukkan. Daerah yang terakhir dikuasainya ialah Surabaya dengan bantuan
Sunan Giri.
Setelah
Senopati wafat, putranya Mas Jolang (1601-1613) naik tahta dan bergelar Sultan
Anyakrawati. Dia berhasil menguasai Kertosono, Kediri, dan Mojoagung. Ia wafat
dalam pertempuran di daerah Krapyak sehingga kemudian dikenal dengan Pangeran
Sedo Krapyak.
Mas Jolang kemudian digantikan oleh
Mas Rangsang (1613-1645). Raja Mataram yang bergelar Sultan Agung Senopati ing
Alogo Ngabdurracham ini kemudian lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Pada
masa pemerintahannya, Mataram mencapai masa keemasan. Pusat pemerintahan
dipindahkan ke Plered. Wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan sebagian Jawa Barat. Sultan Agung bercita-cita mempersatukan
Jawa. Karena merasa sebagai penerus Kerajaan Demak, Sultan Agung menganggap
Banten adalah bagian dari Kerajaan Mataram. Namun, Banten tidak mau tunduk
kepada Mataram. Sultan Agung kemudian berniat untuk merebut Banten.
Namun,
niatnya itu terhambat karena ada VOC yang menguasai Sunda Kelapa. VOC juga
tidak menyukai Mataram. Akibatnya, Sultan Agung harus berhadapan dulu dengan
VOC. Sultan Agung dua kali berusaha menyerang VOC: tahun 1628 dan 1629. Penyerangan
tersebut tidak berhasil, tetapi dapat membendung pengaruh VOC di Jawa. Sultan
Agung membagi sistem pemerintahan Kerajaan Mataram seperti berikut.
(1) Kutanegara, daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang
oleh Patih Lebet (Patih Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana Dalam).
(2) Negara
Agung, daerah sekitar
Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan dipegang Patih Jawi (Patih Luar) yang
dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).
(3) Mancanegara, daerah di luar Negara Agung. Pelaksanaan
pemerintahan dipegang oleh para Bupati.
Sultan
Agung wafat pada tahun 1645 dan digantikan oleh Amangkurat I (1645-1677).
Amangkurat I menjalin hubungan dengan Belanda. Pada masa pemerintahannya.
Mataram diserang oleh Trunojaya dari Madura, tetapi dapat digagalkan karena
dibantu Belanda. Amangkurat I kemudian digantikan oleh Amangkurat II
(1677-1703). Pada masa pemerintahannya, wilayah Kerajaan Mataram makin
menyempit karena diambil oleh Belanda.
Setelah Amangkurat II,
raja-raja yang memerintah Mataram sudah tidak lagi berkuasa penuh karena
pengaruh Belanda yang sangat kuat. Bahkan pada tahun 1755, Mataram terpecah
menjadi dua akibat Perjanjian Giyanti:
Ngayogyakarta Hadiningrat
(Kesultanan Yogyakarta) yang berpusat di Yogyakarta dengan
raja Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I dan Kesuhunan Surakarta yang
berpusat di Surakarta dengan raja Susuhunan Pakubuwono III. Dengan demikian,
berakhirlah Kerajaan Mataram.
Kehidupan sosial ekonomi Mataram
cukup maju. Sebagai kerajaan besar, Mataram maju hampir dalam segala bidang,
pertanian, agama, budaya. Pada zaman Kerajaan Majapahit, muncul kebudayaan
Kejawen, gabungan antara kebudayaan asli Jawa, Hindu, Buddha, dan Islam,
misalnya upacara Grebeg, Sekaten. Karya kesusastraan yang terkenal adalah
Sastra Gading karya Sultan Agung. Pada tahun 1633, Sultan Agung mengganti
perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan tahun
Islam yang berdasarkan perhitungan bulan.
Kerajaan
Gowa-Tallo
Kerajaan
yang terletak di Sulawesi Selatan sebenarnya terdiri atas dua kerjaan: Gowa dan
Tallo. Kedua kerajaan ini kemudian bersatu. Raja Gowa, Daeng Manrabia, menjadi
raja bergelar Sultan Alauddin dan Raja Tallo, Karaeng Mantoaya, menjadi perdana
menteri bergelar Sultan Abdullah. Karena pusat pemerintahannya terdapat di
Makassar, Kerajaan Gowa dan Tallo sering disebut sebagai Kerajaan Makassar.
Karena
posisinya yang strategis di antara wilayah barat dan timur Nusantara, Kerajaan
Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur yang kaya rempah-rempah.
Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang tangguh terutama dari daerah
Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan pertahanan laut Makassar.
Raja
yang terkenal dari kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin (1653-1669). Hasanuddin
berhasil memperluas wilayah kekuasaan Makassar baik ke atas sampai ke Sumbawa
dan sebagian Flores di selatan.
Karena merupakan bandar
utama untuk memasuki Indonesia Timur, Hasanuddin bercita-cita menjadikan
Makassar sebagai pusat kegiatan perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini
merupakan ancaman bagi Belanda sehingga sering terjadi pertempuran dan
perampokan terhadap armada Belanda. Belanda kemudian menyerang Makassar dengan
bantuan Aru Palaka, raja Bone. Belanda berhasil memaksa Hasanuddin, Si Ayam
Jantan dari Timur itu menyepakati Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Isi
perjanjian itu ialah: Belanda mendapat monopoli dagang di Makassar, Belanda
boleh mendirikan benteng di Makassar, Makassar harus melepaskan jajahannya, dan
Aru Palaka harus diakui sebagai Raja Bone. Sultan Hasanuddin kemudian
digantikan oleh Mapasomba. Namun, Mapasomba tidak berkuasa lama karena Makassar
kemudian dikuasai Belanda, bahkan seluruh Sulawesi Selatan.
Tata
kehidupan yang tumbuh di Makassar dipengaruhi oleh hukum Islam. Kehidupan perekonomiannya berdasarkan pada ekonomi
maritim: perdagangan dan pelayaran. Sulawesi Selatan sendiri merupakan daerah
pertanian yang subur. Daerah-daerah taklukkannya di tenggara seperti Selayar
dan Buton serta di selatan seperti Lombok, Sumbawa, dan Flores juga merupakan
daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Semua itu membuat Makassar mampu
memenuhi semua kebutuhannya bahkan mampu mengekspor.
Karena memiliki
pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur perdagangan
Indonesia Timur, disusunlah Ade’Allapialing Bicarana Pabbalri’e, sebuah tata
hukum niaga dan perniagaan dan sebuah naskah lontar yang ditulis oleh Amanna
Gappa.
Kerajaan Ternate dan Tidore
Ternate
merupakan kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13 dengan raja
Zainal Abidin (1486-1500). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan Giri di
Kerajaan Demak. Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya dengan Sultan Mansur
sebagai raja.
Kerajaan
yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang karena Maluku
kaya akan rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat berkembang berkat hasil
rempah-rempah terutama cengkih.
Ternate
dan Tidore hidup berdampingan secara damai. Namun, kedamaian itu tidak
berlangsung selamanya. Setelah Portugis dan Spanyol datang ke Maluku, kedua
kerajaan berhasil diadu domba. Akibatnya, antara kedua kerajaan tersebut
terjadi persaingan. Portugis yang masuk Maluku pada tahun 1512 menjadikan
Ternate sebagai sekutunya dengan membangun benteng Sao Paulo. Spanyol yang
masuk Maluku pada tahun 1521 menjadikan Tidore sebagai sekutunya.
Dengan berkuasanya kedua bangsa
Eropa itu di Tidore dan Ternate, terjadi pertikaian terus-menerus. Hal itu
terjadi karena kedua bangsa itu sama-sama ingin memonopoli hasil bumi dari
kedua kerajaan tersebut. Di lain pihak, ternyata bangsa Eropa itu bukan hanya
berdagang tetapi juga berusaha menyebarkan ajaran agama mereka.
Penyebaran agama ini mendapat tantangan dari Raja Ternate, Sultan Khairun
(1550-1570). Ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao Paulo, Sultan
Khairun dibunuh oleh Portugis.
Setelah sadar
bahwa mereka diadu domba, hubungan kedua kerajaan membaik kembali. Sultan
Khairun kemudian digantikan oleh Sultan Baabullah (1570-1583). Pada masa
pemerintahannya, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan itu tidak
terlepas dari bantuan Sultan Tidore. Sultan Khairun juga berhasil memperluas daerah kekuasaan Ternate sampai ke Filipina.
Sementara
itu, Kerajaan Tidore mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Sultan Nuku. Sultan Nuku berhasil
memperluas pengaruh Tidore sampai ke Halmahera, Seram, bahkan Kai di selatan
dan Misol di Irian. Dengan masuknya Spanyol dan Portugis ke Maluku, kehidupan beragama dan bermasyarakat di Maluku
jadi beragam: ada Katolik, Protestan, dan Islam. Pengaruh Islam sangat terasa
di Ternate dan Tidore. Pengaruh Protestan sangat terasa di Maluku bagian tengah
dan pengaruh Katolik sangat terasa di sekitar Maluku bagian selatan.
Maluku adalah daerah penghasil
rempah-rempah yang sangat terkenal bahkan sampai ke Eropa. Itulah komoditi yang
menarik orang-orang Eropa dan Asia datang ke Nusantara. Para pedagang itu
membawa barang-barangnya dan menukarkannya dengan rempah-rempah. Proses
perdagangan ini pada awalnya menguntungkan masyarakat setempat. Namun, dengan
berlakunya politik monopoli perdagangan, terjadi kemunduran di berbagai bidang,
termasuk kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar